Alasan Golput : Dilema Pemilukada
Sunday, October 30, 2016
Kemarin, saya berdiskusi dengan salah seorang teman perihal tulisan. Lelaki lulusan sastra itu sangat memahami gramer bahasa Indonesia. Banyak sekali tulisan-tulisanku dibahasakan dengan struktur yang baik dan benar olehnya. Mulai dari status pesbuk, postingan di blog, dan coretan-coretan singkat di buku kecilku. Semangat menulisku justru menggebu karena ocehannya yang selalu menyalahkan dan memberiku solusi pembenaran, menurutnya.
Diskusi kami cuma larut dalam beberapa menit saja. Ketika kutebak dia hendak mengakhiri dialog romantis itu, lepas landas saya klasifikasikan tulisan dalam tiga katagori. Satu, formal. Dua, non formal. Tiga, tidak formal dan bukan non formal.
Tiba-tiba, kening si kutu buku itu mengerut halus. Dua bola matanya menatap tajam melihatku, seolah dua ujung kelopak matanya bagaikan keris yang menusuk pikiranku. "Maksud yang ketiga itu, bagaimana?" tanyanya spontan.
Sambil mengeserkan kursi, kuarahkan layar notebook kehadapannya. "Mudah-mudahan dia mendapatkan jawaban atas pertanyaannya," pikirku membatin.
Kemudian ia mengamati potongan gambar yang sudah kususun dalam beberapa slide. Slide itu saya buat disela-sela kami menikmati angin persawahan. Beberapa hari yang lalu, file itu sengaja kukutip dari status-status pesbuk yang dijadikan sebagai laman resmi milik beberapa tokoh dan beberapa calon tokoh masa depan.
"Apakah NKRI ini sudah dan akan didominasi oleh bangsa alay?" tanyaku sesaat setelah dia melihat dan membaca potongan-potongan gambar itu.
"Ada dua pelajaran besar yang bisa kita ambil dari kutipanmu itu" Jawabnya yang mencoba jadi orang bijak seraya meneguk mesra sisa kopi dari gelas keramik pesanannya. Belum sempat kutanya. Ia melanjut, "Pertama, perlunya kehati-hatian ketika seseorang menjadi tokoh atau seseorang yang ditokohkan. Dan yang kedua, seorang lelaki yang sudah dewasa umur dan akalnya tidak pernah berminat untuk menjadikan dirinya sosok pribadi yang alay. Faktor masa lalu mereka tanpa dunia alay, sekarang telah menyeretnya ke dunia begitu alay dewasa ini."
Tiba-tiba dia mengulang tatapan bengisnya ke wajahku. Dia mulai mencoba menawarkan sedikit demi sedikit senyumannya ke lubuk sanubariku. Masih dalam menit yang sama ia melanjut, "Gara-gara angin sialmu itu. Aku telah mengatakan mereka tidak sempat menikmati masa muda Lagi-lagi pertanyaan nakalmu menghipnotisku, jahat..."
Setelah tawaan nakal pecah di sudut warkop tempat kami berdiskusi, temanku merasa menyesal. Ritme penyesalan itu kutangkap ketika dia membungkam dengan bahasanya yang khas. Lalu ia berkata, "Padahal baru beberapa hari yang lalu aku bertobat, berharap batin dan lidahku bisa sedikit tenang meskipun dongeng-dongeng terus didengungkan. Tobat ini sudah kubatasi mulai masa pilkada sekarang hingga sampai pilkada nanti diadakan. Tapi, imaji nakalmu selalu memancing emosiku."
Pandangan temanku terpusat ke arah persawahan luas yang mengelilingi warung. Sinar matanya meninggalkan jejak kekesalan pada sejumlah jindrang-jindrang (sisa batang padi setelah panen). Dialog tak bertuan pun berakhir saat mendengar bunyi tarikan kursi yang bersebelahan dengan tempat kami duduk.
"Mudah-mudahan ke-golput-an kita tetap terjaga," bisiknya.
"Semoga! Aamin,,," sambutku dengan nada tungang.