Santri Taklid Buta
Sunday, October 30, 2016
Di awal perkuliahan beberapa tahun lalu, saya adalah mahasiswa yang suka bergaul dengan siapa saja, tanpa pernah pandang bulu satupun.
Saya juga sempat ngekor di beberapa organisasi yang saya anggap sebagai lahan pertemanan dan menambah wawasan. Teman yang berbeda-beda dari organisasi yang tidak sama, kerab membuat hati kecil saya sering tertawa tanpa memandangnya dengan pandangan sinis.
Dengan keluguanku, sangat mudah dicemeoh oleh sebagian kawan-kawan. Aku tetap masih bisa berteman meskipun cara mereka berpikir acap kali menyesak dadaku. Apalagi ketika, "Orang dayah taklid buta." kata mereka sambil mengerling matanya ke arahku.
Kesabaranku, tidak mudah hangus begitu saja. Karena, ejekan itu hanya sementara, sifatnya. "Seandainya nanti mereka mengenal diriku, akan mudah menerimaku sebagai temannya," pikirku polos.
Karena sifat keras kepala, kadang-kadang saya lantang mempertahankan sesuatu yang lebih dulu masuk ke hati. Pernah suatu hari. Secara langsung, saya diklaim dan ditertawakan sebagai 'orang taklid buta' oleh teman-teman saya sendiri. Ada hikmah dibalik batu, sehingga membuat saya harus kosentrasi penuh terhadap isu-isu yang diangkat dalam pelbagai diskusi.
Benar, fanatisme membuat mata rabun karat dan membutakan hati. Beberapa tokoh yang dianggap tokoh dan ideologi yang dianggap kokoh diterjemahkan suatu keharusan dalam kepribadian. Sehingga, dogma tetap teguh dalam jamaahnya adalah pilihan.
Suatu hari, kebosanan saya anggap sebagai hidayah. Ketika beberapa tokoh masih ditokohkan, ketika beberapa ideologi masih diidolakan meskipun ada yang menyanggahnya.
Tanpa ada paksaan, tanpa pamitan langkah kakiku lepas landas saat itu. Aku pergi seraya memaknai arti 'praktikum taklid buta' ala mereka.