-->

Entri yang Diunggulkan

Untukmu Sahabat Yang Namanya Tak Kusebut

Tukang Tambal Ban | Aku Ingin Menulis

Fauzi Ramli | Aku ingin menulis. Tapi, tak tahu perihal apa yang akan kutulis. Sepertinya ideku sedang buntu, tidak bisa diajak kerja sama. Buntu, buntu-buntu begitu saja. Ah! Peduli apa. Inginku menulis. Meskipun buntu, biarkan saja kumulai dari 'aku ingin menulis'. Barangkali sebab keinginan itu hasrat tumbuh dengan sendirinya.

Sampai saat ini, Tuhan masih memberiku sebongkah keinginan. Bukankah keinginan tersebut berliannya kehidupan? Sejuta pertanyaan yang datang tak pernah kuundang selalu datang dengan sendirinya. Mungkin saja ini kesempatan untuk memenuhi hasrat batinku.

Keinginan! Yaa, keinginan. Keinginan itu yang telah membawaku menghirup udara hari ini. Keinginan itu yang kian mengantarku duduk di sini. Keinginan itu pula nan membuat jemariku gatal untuk menulis tentang apa yang sedang tidak kutahu.

Baca Juga


Aku tidak mahu akan tulisan ini panjang atau pendek. Bahkan bermanfaat ataupun tidak. Toh, mereka lalu-lalang; melintas di jalan tanpa menaruh perhatian terhadapku. Saat ini, yang kutahu hanya keinginan untuk mengisi dinding maya sembari menunggu ban kereta ditambal.

Sama halnya seperti pemilik lapak tambal ban langganku. Ia menekuni kegiatannya seraya menunggu ujrah; upah dari pemilik kereta. Ujrah yang didapatkan dari pekerjaan tersebut tentu berguna bagi dirinya, anak, dan istrinya.

Lha! Aku harus menunggu apa untuk melakukan suatu hal yang kemungkinan juga bermanfaat bagi diriku sendiri?! Orang lain atau bahkan malaikat sekalipun, tidak turun untuk mengajakku melakukan suatu hal yang bermanfaat tanpa kumulai sendiri.

Di bangku tempat tubuhku kusandarkan, dua bola mataku masih menatap tajam ke arah laki-laki tua; pemilik lapak tambal ban. Sejenak batinku berbisik, serasa ia tidak pernah bosan menunggu matang setiap ban yang ditambal.

Pelan demi pelan, irama permainannya perlahan kucuri. Kuikuti jejak hikmah dari ritme pekerjaan yang sedang ia lakoni. Tanpa meminta izin, kubiarkan menulis ini sebagai benda tajam untuk membunuh bosan. Barangkali dengan memainkan nada-nada bosan, arti dari sebuah penantian pendek ini akan bermanfaat–mengisi kekosongannya bosan.

Aku masih tidak memperdulikan mereka yang lalu-lalang di jalanan–di depan; tempat aku menunggu ban kereta selesai ditambal. Mereka bukan urusanku. Tatkala arahnya melaju ke barat tak pernah sekalipun memberitahuku. Apalagi mereka meluncur ke arah timur, pun tidak menghirau keberadaanku.

Masih di tempat yang sangat membisingkan ini nan terpikir hanyalah, aku, laki-tua dan ban kereta.

"Nak! Keretanya sudah siap." Ucapan yang dikeluarkan dari mulut si laki-laki tua itu seperti memutuskan hubunganku dengannya. Tapi tidak sampai membuat batinku nyengsek. Karena kutahu bahasa semacam ucapannya lumrah diantara pelanggan dan konsumen. Meskipun ucapannya meninggalkan perih dalam benak, aku tak peduli. Karena menulis ini merupakan keinginannku.

Sesaat setelah ucapannya laki-laki tua; pemilik lapak tambal ban kubiarkan jatuh ke tanah, benakku mulai berpikir lain. Aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Dia sedang mencari rezeki untuk keluarganya. Tanpa disadari, ternyata aku sedang menginjak-injak ucapannya demi mewujudkan keinginanku semata.

Fauzi Ramli, Tukang Tambal Bocor Ban Aku Ingin Menulis
Banda Aceh, 15/07/2017
Aku Ingin Menulis
Aku Ingin Menulis: Aku, Laki-laki Tua dan Kereta Bocor Bannya

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel