PKI Dikit-dikit. Dikit-dikit, PKI
Friday, November 11, 2016
Miris. Ya, memang miris. Dikit-dikit ini. Dikit-dikit itu. Bid’ah sana sini. Tuduh kafir sesama Islam. Kamu thaghut. Kalian syirik. Itu sekte syiah. “Kadung latah,” Kata sebagian orang Jawa.
Terkait lembar duit 100 ribu versi baru. Sudah seharusnya kita melaahnya terlebih dahulu sebenarnya itu logo apa!
Beuh, kapan majunya negara 1001 fatwa ini kalau sikap klaim-mengklaim masih saja dikedepankan. Bukankah itu nafsu? Hehe, saya kurang setuju negeri ini dikatakan “negara aneh” oleh sebagian warga. Karena, menurut hemat saya ; ulah sebagian penduduklah yang menjadikan bumi pertiwi ini semakin aneh. Kata si A, “Itu enam.” Bantah si B, “Bukan, itu sembilan.” Masak karena angka 6 sedikit sama bentuknya dengan angka 9 kita harus buang-buang energi berdebat sepanjang zaman? Aneh bin ajaib, kapan majunya cuy.
Hargai perbedaan. Hormati kebijakan pemerintah, karena kita hidup di bawah UUD yang telah diaturnya oleh kepemerintahan semenjak 1945. Dengan menghormati pemerintah berarti kita juga menghargai para pahlawan yang sekian tahun telah memerdekakan negri ini. Padahal, kemarin 10 November kita baru saja surak-menyurak, “Selamat hari pahlawan, kakak.” Namun berbeda dengan hari ini, gara-gara sumber berita yang tidak bertanggung jawab kita kebawa latah. Kenapa negeri ini didesain seaneh itu, cuy…?
“Bro, ko jangan macam-macam, pemerintah sekarang udah gak benar. Mereka maunya cuma mengedepankan nafsu sendiri. Berbicara masalah nafsu, kami rakyat jelata ini juga punya, malahan nafsu kami lebih banyak. Seharusnya pemerintah juga mengajak kita untuk sama-sama mementingkan kemauan yang sifatnya individual bro!”
Cuy, sebelumnya mari sama-sama kita hilangkan kebiasaan “kentuk di pantat lembu”. Karena, seberapa bau pun kentut kita lembu juga tidak akan pernah merasa terusik cuy. Seberapapun baunya kentut kita, kentut para lembu lebih bau cuy, ingat itu.
Saya gak macam-macam cuy. Saya, kamu dan mereka mengantarkan kita semua ke aneka ragaman. Kalau saya sendiri masih satu/semacam kan? Hehe
Intinya begini, kalau mau protes kebijakan pemerintah, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah berkaca. Ngadap ke cermin cuy, jangan lupa baca doa. Tuhan telah memberi kesempurnaan pada wajah kita, mudah-mudahan akhlak juga kita perbaiki sedikit demi sedikit. Kemudian tanya pada diri sendiri, kita ini siapa? Apa jabatan kita dalam kepemerintahan? Sebesar apa kapasitas, loyalitas dan intregritas kita untuk sebuah kebijakan pemerintah?
Nah. Untuk menjawab pertanyaan diatas kita pasti harus menyesali masa lalu cuy. Sewaktu disuruh pergi sekolah dulu kita ngumpet di bawah jembatan, kan? Dulu waktu disuruh mengaji kita ngumpet di atas pohon melinjau, sekarang pada nyesal bukan?
Mari sodara-sodara kita budayakan berkaca. Yuk, mari.
Udah berkaca cuy? Masih ngotot nafsunya ingin diindahkan oleh pemerintah?
“Masih dong, ini kan negeri demokratis? Kita bebas mengkritik bukan?”
Sip, Anda orang hebat cuy. Hebat! Ajak massanya untuk berdemo, tidak ada yang melarangnya seperti, “Aksi damai 114” beberapa hari lalu. Tapi sebelumnya jangan lupa surati pihak Kepolisian setempat. Karena selain negara demokrasi sistimnya, sejumlah aturan juga telah diamandemenkan cuy. Jangan sampai gara-gara demo, Anda tidak lagi sempat melihat keluarga. Mereka pasti sedih ketika tidak lagi bisa melihat suaminya, istrinya, anaknya. Mentaati peraturan juga manusiawi bukan?
“O, yang punya tulisan ini orang pemerintah. Pasti dia ini antek-anteknya PKI.”
Kok setajam itu saudara-saudaraku? Bukankah kalau persepsi saya ini kita perbaiki sama-sama? Kalau seandainya saya keluar negeri dan jadi orang sukses di sana seperti Pak Habibi, apakah Anda-anda saudaraku sebangsa tidak bangga? Saat itu pula Anda akan menyesal, kenapa perusahaan saya tidak di Indonesia saja. Ayo sodara-sodara, sama-sama kita belajar dari hari kemarin.
Oa, saya bukan orang pemerintah cuy. Saya bukan keponakan Mbak Mega, juga bukan saudara tirinya Pak Jokowi. Saya tidak pernah bertemu atau berjabat tangan dengan mereka. Saya bukan siapa-siapa. Pengetahuan saya pun lebih sedikit dari pada pembaca. Di sini, saya cuma prihatin dengan sikap gegabah, dengan sikap tergesa-gesa ketika mengambil tindakan yang tanpa solusi.
Karena, kalau seorang pemimpim membunuh semua rakyat, yang dipimpinya itu siapa? Kan sama saja seperti seorang petani pergi ke kebun nya kemudian dengan bangga ia bersuara, “Hee kalian. Aku ini pemimpin di negara ladang. Saya tegaskan bahwa kalian harus taat mematuhi aturan agama dan peraturan pemerintah.”
Melihat ketegasan seorang petani di kebunnya, para petani tetangga mengajak petani-petani
setempat untuk menyaksikan orasinya, kemudia menertawakan dia. Tapi masih ada untungnya juga lho. “Apa?” Sorakan dan ejekan ilalang-ilalang tepi parit tidak didengar oleh sang peneriak.
Selamat pagi
Semoga mimpi indah
Keep smile kakak...
Duit dan Dilema Hantu PKI |