Pramoedya Ananta Toer: Klimaks Sesaat
Friday, February 01, 2019
Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dari dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan (Pramoedya Ananta Toer, 2005:77).
Setelah sekian tahun lamanya terabaikan, malam ini kembali kusibak sebongkah lentera. Berharap bisa menemaniku hingga larut malam. Mengasah otak yang telah lama bungkam dari bacaan.
Rasanya ingin balas dendam. Sedari dulu memang aku sangat yakin bahwa; hidup tanpa buku bacaan sebagai pegangan ,,,. Ah! Sungguh bahasan yang menyebalkan. Semua tidak lebih dari hanya sekedar click bait semata.
Kosong! Ya, kuakui. Aku mulai muak dengan kekosongan ini. Kekosongan tanpa imaji yang mengairi serat-serat gumpalan sarafku. Aku benci kenikmatan larut malam dengan bacaan yang sempat pergi dari keinginan. Harus kuakui berulangkali, perihal ini amat sangat kubenci.
Pernah hampir tak sadarkan diri. Sekian tahun lamanya bermedia sosial, seakan rasa sosial itu semakin hilang. Hanya memupuk kesombongan dari setiap rekam jejak postingan yang tertinggal, tidak lebih. Kendati pengakuan ini sulit terucap, hati tidak dapat berbohong dan mengakuinya. Aku adalah bagian korban dari sosial media.
Tetralogi ini kubeli sejak empat tahun yang lalu, bertepatan 2015 silam. Namun kala itu belum sempat kujamah sehangat malam ini. Sastra beraliran politik seperti ini menghasilkan klimaks yang berlapis saat dibaca. Sebelumnya klimaks serupa juga pernah kudapati pada beberapa novel Arafat Nur, seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Mungkin saat itu, aku hanya terobsesi sekedar belajar menulis tanpa banyak membaca.
Lucu untuk dikenang. Beberapa lomba menulis puisi yang pernah kuikuti sempat mendapatkan beberapa penghargaan, berupa; voucher belanja, dan e-sertifikat.
Akhir kalam aku akhiri untuk mengikuti event yang saban hari diadakan oleh penerbit amatiran—teman-teman sosial media dari pulau Jawa. Karena aku menganggapnya bahwa; lomba tersebut diadakan untuk mengelabui hasrat seseorang yang membabi buta tatkala namanya ingin ditulis pada bagian kecil halaman pembuka buku.
Ambisi yang tak terkontrol itu telah membuatku terjebak di dunia 'literasi klimaks sesaat', ia memudar bak makanan ringan nan murahan yang sering dikosumsi oleh mayoritas anak-anak sekolah dasar daerah pelosok. Padahal, menulis tanpa banyak membaca adalah membodohi diri sendiri, dan membaca tanpa menulis sama seperti melatih diri untuk menjadi seorang pengecut.
Alhamdulillah! Berbekal dari kebodohan itu, ternyata aku berhasil mengkoleksikan beberapa buku bacaan ringan. Uniknya, beberapa karya penulis lokal sangat kubanggakan. Alasannya sederhana, berkat buah pikir mereka aku mengenal kearifan lokal.
Sebenarnya, untuk mendapatkan buku-buku penulis lokal terbilang payah. Selain tidak mendapatkan advertansi dari pemerintah daerah, karya mereka jarang sekali direkomendasikan ke lembaga-lembaga pendidikan formal. Ironinya karya mereka dijadikan bahan penelitian di beberapa universitas—daerah tetangga. Sehingga untuk memperoleh buku mereka harus memesan langsung ke penerbit melalui jalur transaksi online. Itupun kalau masih tersedian.
Memang kebanyakan penulis lokal dominan melirik penerbit/percetakan nasional. Hal ini tidak lain kalau bukan supaya mendapatkan publisitas yang terpercaya dan royalty yang memadai. Dalam hal ini seharusnya pemerintah daerah berkerjasama dengan sastrawan lokal. Karena kehadiran mereka justru meringankan beban pemerintah untuk mengsosialisasikan kearifan lokal bagi masyarakat.
Di gemerlap malam ini, aku kembali dipertemukan dengan karya berlian seorang pengarang produktif dalam sejarah sastra Indonesia, Pramoedya AnantaToer—yang perjuangannya di dunia literasi tidak jauh lebih lebih mudah dari sastrawan lokal.
Note: Coretan ini hanya sekedar untuk belajar menulis.
![]() |
Klimaks Sesaat |