-->

Entri yang Diunggulkan

Untukmu Sahabat Yang Namanya Tak Kusebut

Asoe Lhok : Pidie Prak, Samalanga Walak-walak

Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah. Kenapa Pidie tidak dilabeli dengan sebutan 'Aceh' seperti daerah-daerah lain?
Ada apa dengan Pidie? 
Apakah Pidie itu bukan Aceh?

Kalau Pidie bukan bagian dari Aceh, berarti masyarakat Pidie bukan keturunan Bangsa Aceh dong! Meunan?
"Lempap," sedang ngetrend.

Kurun masa lebih kurang hampir dua dekade telah berlalu. Saat itu aku sedang megenyam pendidikan pada pndok pasentren yang terletak di kabupaten tetangga. Di sana kupelajari banyak hal. Baik mengenai kehidupan dalam aspek agama maupun bidang sosial. Di pondok itu pula aku mengenal guru dan orang tua. Di tempat itu juga postur tubuhku besar layaknya anak-anak lain yang seumuran denganku.

Guru-guru yang mengajar di kelasku kebanyakan penduduk asli wilayah itu. Bahkan, teman-teman sekelas denganku jamaknya juga penduduk asli wilayah tersebut. Berlainan dengan teman di kamar, aku tinggal bersama dua orang teman. Satunya dari kabupaten yang sama denganku sedangkan satunya lagi merupakan penduduk asli wilayah. Asoe lhok adalah sebutan bagi orang-orang yang berkependudukan asli di wilayah-wilayah tertentu daerah istimewa Aceh.

Baca Juga

Personalitas masyarakat Aceh umumnya bangga dengan penglabelan frasa 'Asoe lhok'. Karena dengan itu dirinya dianggap penghuni asli wilayah. Apa lagi di hadapan orang-orang yang baru masuk ke suatu daerah. Retata dengan membusungkan dan menepuk dada berkata, "Akulah asoe lhok." Cihuuiii...

Padahal, kalau dilhat dari sisi linguistik frasa 'asoe lhok' mengandung makna yang sangat tidak bagus dan tidak enak di pendengaran. Frasa 'asoe lhok' terdiri dari dua kata. Pertama, asoe artinya isi (penghuni asli). Kedua, lhok artinya tempat (sebutan nama suatu tempat). Dari sisi sastra 'lhok' bermakna tempat kediaman hewan pemangsa seperti, musang, meuruwa dan kawan-kawannya. (Natijahnya, pembaca ambil sendiri. Karena nikmatnya sampai gigit jari).

'Akulah penduduk asli wilayah ini' kerap diucap ketika seseorang membanggakan diri di hadapan orang lain. Meskipun seseorang tersebut tidak nimbrung dalam kegiatan sosial di wilayahnya, bukan perkara. Karena pengungkapan frasa 'Asoe lhok' adalah bagian dari kebanggaan dan keistimewaan.

Berbeda dengan guru dan sebagian teman-temanku di pondok tempat kami belajar saat itu. Mereka tidak sombong, tidak angkuh. Kendatipun mereka penduduk asli wilayah, tetapi mereka amat sangat bisa mengahargai perbedaan, lebih-lebih lagi perbedaan itu adalah suatu kearifan lokal. Karena yang demikian itu merupakan perkara kecil dan wajar.

Guru-guruku adalah orang-orang yang berpendidikan. Selain berpendidikan umur-umur juga dewasa lahir dan batin. Kapasitas, loyalitas dan intregritasnya sangat mantap. Sehingga perbedaan warna kulit tidak pernah menimbulkan kerusuhan di antara kami saat itu. Sejumlah kitab yang dijadikan sebagai referensi pun kadang-kadang juga membahas perihal al-ikhtilaf (perbedaan). Otomatis perbedaan itu sendiri sudah menjadi bahan yang kami kosumsi sehari-hari. Bagi kami, peebedaan itu adalah rahmat, kasih sayang, anugerah, berkat, kurnia, fadilat, hikmat, kebaikan, keuntungan dan tuah.

Suatu dhuha, selepas pengajian di ruang belajar yang kami sebut-sebut aula, aku hendak pulang ke kamar untuk menyimpan kitab-kitab pelajaran hari itu. Dari kelas tajhizi aku keluar bersama seorang teman badanya lebih besar dari pada tubuh kecilku. Dia juga merupakan penduduk asli wilayah tempat pondok pasantren.

Temanku yang bernama, ah sebut saja namanya Kang Sakhrukhan. Ya, Kang Sakhrukhan menjungkat wajahnya ke arahku dan menggunjing dengan nada suaranya yang sedikit kurang fasih. "Pidi, pidi-pidi. Pidi prak, pidi prak," berkali-kali kalimat yang sama diulangnya sepanjang perjalanan kami menuju kamar.

Ejekannya dari buah bibirnya sudah kukira sebagai zikir rutin untukku disetiap waktu. Namun hari itu, zikirnya tidak mengantarku sampai ke pintu kamar. Karena pertengahan langkah di depan Mushalla kami bersemuka dengan seorang guru yang menjabat sebagai seksi jama'ah saat itu.

"He kalian, ke sini dulu," panggil seksi jama'ah ke tepi Mushalla dengan suara gregetannya. "Kamu mengejek-ejek dia. Kenapa?" tanya guru kepada Kang Sakhrukhan. "Iya, benar Teungku, pidi itu memang prak. Samalanga walak-walak," jawaban Sakhrukan yang tidak jelas alasannya itu langsung dipotong guru. "Tau kamu kenapa sehingga Pidie disebut-sebut 'Pidie prak'? Atas dasar apa kamu bilang 'Samalanga walak-walak'?"

Sakhrukhan menjawab, "Saya tidak mengerti Tengku!" Ku perhatikan mukanya mulai memucat basi. Postur tubuhku yang kecil, semula membuatnya sangat garang mencaci-caciku. Karena bentakan guru, Sakhrukhan hanya bisa diam seribu bahasa dan menunduk kepala.

Kemudian guru menjelaskan di hadapan kami berdua, "Dasar pidie prak itu adalah pidie prang (pidie perang). Sedangkan dasar dari 'Samalanga walak-walak' itu Samalanga wallahu a'lam, maksudnya perang kala itu di Salamanga tidak bisa diungkapkan dengan bahasa, karena lebih parah dari pada perang yang terjadi di daerah Pidie." Baru setengah guru menjelaskan hatiku terasa senang. Aku mulai berani tersenyum meskipun belum sepenuhnya tahu apa sebenarnya maksud dari ungkapan seksi jama'ah itu. Bagiku, hari itu guru bersamaku dan membelaku.

"Dulu, suatu waktu Aceh sedang berkecambuk peperangan, Pidie dan Samalanga merupakan dua daerah basis perang. Masyarakat Aceh saat itu menyangka bahwa daerah Pidie dan Samalanga akan hancur serta diluluh-lantakan oleh serdadu-serdadu kaphe(kafir). "Pidie prang, Samalanga wallahu a'lam" adalah berita heboh yang beredar dari mulut ke mulut sampai ke seluruh pelosok bumi Aceh. Bahkan hingga beberapa tahun setelah perang reda berita itu masih buming di telinga rakyat Aceh. Berabad-abad hingga Cina masuk ke Aceh "Pidie prang, Samalanga wallahu a'lam" diplesetkan oleh mereka menjadi "Pidi pra, Samalanga wala-wala". Barulah kemudian ditashhihkan oleh masyarakat Aceh menjadi "Pidie prak, Samalanga walak-walak" sebagai humor di panteu jaga (warung kopi)," Setelah menjelaskan panjang lebar guru yang dari Krueng Sabe itu menyuruh kami saling bersalaman dan juga memaklumat untuk istirahat karena waktunya qailulah (pukul 11.00 - Dhuhur).

Alhamdulillah mulai dari hari itu sampai tahun tsunami terjadi pula telingaku tidak lagi didengungkan oleh nyanyian-nyanyian basinya Kang Sakhrukhan. Karena pasca tsunami temanku itu pun tidak lagi nampak batang hidung di pondok pasantren. Sampai saat ini aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya. Entah bagaimana keadaan dan keberadaannya sekarang, wallahu a'lam. Semoga Allah mudahkan semua urusannya.

Mungkin link di bawah ini akan sedikit membantu Anda, untuk membuka wawasan dan menghilangkan rasa penasaraannya, mengenai Pidie yang tidak dilabeli Aceh hingga sampai saat ini.

Tulisan ini juga ditayang di naceh.com 09 November 2016

Mungkin link di bawah ini akan sedikit membantu Anda, untuk membuka wawasan dan menghilangkan rasa penasaraannya, mengenai Pidie yang tidak dilabeli Aceh hingga sampai saat ini.

Sikidot - - -> https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pedir

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel