Say No To Pilkabe | Pemilukada dan Kemenangannya
Wednesday, February 15, 2017
![]() |
Panyoet Somproeng |
Fauzi Ramli | Malam ini teramat fakum. Kapasitas
ketegangannya pun melebihi standardisasi malam-malam sebelumnya.
Entah apa yang bakal terjadi di keesokan hari, tidak ada yang sanggup
meprediksi. Manusia hanya mampu berharap; semoga esok lebih baik dari hari ini.
Di bumi–yang antah berantah ini, do'a dan harapan seolah tidak ada suatu
kepastian. Serba-serbi dalam kehidupan dimanage oleh teknologi.
Mulai dari terbenamnya matahari hingga kesunyian malam datang, lini maya belum
sepi. Sorak-sorak kemenangan sana-sini menjadi bukti akan kepemilikan–yang
seolah mereka dapatkan esok hari.
Setelah membaca beberapa tanggapan, saya tersadar; ternyata fenomenal ketik
amin masih menjamur di bumi maya. Hingga saat ini budaya menshare sana-sini
merambah semua kalangan, dengan dalih supaya kemenangan sepenuhnya diperoleh
oleh simpstisan dan tim pemenang.
"O–Tuhan! Kenapa malam dengan keadaan seperti saat ini bisa
tercipta?" bisikku membatin.
Jujur! Semula saya tidak bisa memaklumi ketidakindahan malam seperti saat ini.
Namun, perihal tersebut berubah drastis seketika. Tatkala memori merekam jejak
silam, hati saya pun ikhlas menerima prilaku dan praduga para tetangga
dini hari.
Hatiku pun kembali membisik, "Inilah hidup, kemajuan hanya sebatas reka
ulang keadaan yang pernah terjadi. Serba kamuflase"
Melebihi dari satu dasawarsa, perasaan saya juga pernah digelumuti oleh
rasa-rasa yang tidak jelas layaknya keberadaan tetangga saat ini, semua serba
hoax di mata orang lain. Namun bagiku, saat itu semua angan-angan harus
kudapati dan kunikmati seindah mungkin. Tak perduli ocehan dan omongan orang,
karena yang mereka bicarakan tidak pernah kudengar.
Sungguh! Aku tidak pernah tahu betapa bodohnya malam itu keadaannya terasa
sangat fakum, . Karena menunggu fajar menyingsing demi merayakan hari
kemenangan.
Hatiku terus berdegup kencang, tidak seperti malam-malam sebelumnya.
Sehingga kegelapan malam membuat suasana semakin kacau. Padahal, semua alat dan
planning untuk hari esok telah siap.
Baju baru yang dibelikan orang tuaku sudah sekian lama tersimpan rapi dalam
lemari, tidak pernah tersentuh. Tiada hari tanpa memastikan keutuhannya,
walaupun hanya sesaat.
Hati kecilku merindukan sosok hari kemenangan itu. Bagiku, membuka lemari dan
memastikan keberadaannya adalah penawar pilu dan mengobati rindu.
Aku telah melakoni kebiasaan itu hari demi hari. Terkadang aku tidak sendiri,
sepulang dari sekolah kuajak teman-teman ke rumah untuk melihat baju baru.
Mereka juga mengajakku dalam hal yang sama. Setelah masing-masing melihat
pakaian baru, kami saling merendahkan kepunyaan satu sama lain dan mengagungkan
milik sendiri.
Waktu kian berlalu hingga minggu terus berlaji. Namun, aku dan teman-teman
masih tetap istiqamah dengan serangkaian rutinitas–yang telah kuanggap penting.
Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu berganti–pergi meninggalkan
rutinitasku menjenguk-jenguk isi lemari.
Malam ini memang tidak seperti malam kemarin, nuansanya sangat.